Kamis, 26 Juni 2008

MATERI PEMBELAJARAN TAFSIR PADA FAKULTAS TARBIYAH

MATERI PEMBELAJARAN TAFSIR PADA FAKULTAS TARBIYAH
Prof.DR.Quraisy Syihab dlm bukunya Menabur Pesan Ilahi
By: Kang Khairy

1. Pandangan Alqur’an ttg ilmu (Epistemologi) :
Kesatuan sumber ilmu : al-Baqarah :32, Fathir :26-28, asy-Sy’ara : 196-197
Luasnya Samudra Ilmu : al-Baqarah : 216, al-Isra : 85
Wujud Tampak dan Tak Tampak : al-Waqi’ah : 84-85, al-Haqqah :37-38
Batas Pengembangan ilmu/riset : al-‘Alaq :1-2

2. Tata Cara Perolehan Ilmu :
a. limu Kasbi dan Ladunni : al-‘Alaq :1-5, al-Kahfi: 65
b. Penggunaan slrh potensi insani : an-Nahl : 78
c. Pengamatan,eksperimen : ayat-ayat yang menggunakan kata unzhuru
dan siiru

3. Penciptaan Iklim Ilmu :
dorongan pengembangan ilmu : ‘Ali ‘Imran : 66-144, az-Zumar : 9, al-Isra : 36, al- A’raf :146

4. Pendidikan Individu :
a. Aspek pendidikan akal : memahami fenomena : as-Sajdah : 26-27, al-nbiya :30, Pendayagunaan akal dalam aqidah : Yasin : 78-83, ayat hukum : al-Baqarah : 178-184-219,
Ttg Sejarah : ar-Rum , ttg nilai luhur masyarakat : al-Fajr 6-15, al-a’raf : 96, ar-Rum : 9,
al-Mu’min : 21
b. Pendidikan Ruhani : ayat ttg Keterkaitan fenomena alam yang terkecil dengan Tuhan spt : QS.al-Rahman, TTG keindahan Bintang2 : ash-Shaffat : 6, Ttg pemandangan ternak digiring pada pagi dan sore hari : an-Nahl : 6
c. Pendidikan akhlak : terhadap Tuhan,Nabi, sesama manusia dan lingkungan : al-hujurat, an-Nur :27 & 58, al-Ahzab : 53
d. Pendidikan Jasmani : Ttg makan minum : al-Baqarah :168, al-An’am :141 dll

5. Pendidikan Masyarkat : Ttg Jatuh bangunnya masyarakat : ar-Ra’d :11, Ttg Syarat-syarat keutuhan masyarakat a.l : al-Mumtahanah :8, asy-Syura : 37-40, al-Hasyr :9

6. Ragam Metode Pendidikan al-Qur’an :
Keteladanan
Nasihat
Sanksi dan ganjaran
Sejarah dan Kisah
Pembiasaan

Dialog : Bentuk dialog dalam al-Qur’an :
1. Dialog Pembuktian : untuk menemukan sendiri : al-Isra :49-52
2. Dialog kecaman dan ancaman : al-Qalam :45-54 (ditujukan kpd kaum Mu’min
agr menghindari sifat-sifat buruk kaum musyrik)
3. Dialog Sindiran : at-Thur :29 (ditujukan kpd Nabi/orang beriman)
4. Tanya Jawab : al-Baqarah :220-222, al-Baqarah :189, al-Isra :85

ANARKISME ISLAM

Oleh : Khairy Nurzaman MPdI
Anak jalanan itu sedang asyik duduk termenung sambil memegang tumpukan korannya yang biasa ia jajakan kepada siapapun yang melewatinya. Namun tiba-tiba ia tersentak kaget dan seakan tak percaya apa yang terjadi di hadapannya. Serombongan orang dengan berpakaian yang menurutnya “sebagai label-label keislaman” mendobrak dan merusak yang selama ini menjadi tempat berlindung dari panasnya matahari, seraya mengucapkan kalimat-kalimat yang ia kenal dalam solat yang diajarkan oleh guru ngajinya di panti sosial.

Anak itu tidak mengerti, mengapa tempat itu dihancurkan, padahal tempat itu dari pagi hingga sore tertutup rapat. Tapi yang ia fahami saat ini , ada sekelompok orang yang berpakaian yang menurutnya label Keislaman sambil membawa kayu panjang,parang bahkan pedang sedang menghancurkan tempat itu, yang terlihat menakutkan.

Dalam benaknya ia berfikir, oh mungkin tempat itu menjadi sarang kejahatan sehingga dihancurkan oleh orang Islam tapi mengapa tidak ada polisi yang menjadi tanggung jawabnya ? atau serombongan orang itu sedang marah, tapi kenapa mereka marah ? atas dasar apa mereka marah ?

Belakangan, banyak terjadi tindak kekerasan baik secara organisasi atau individu terlebih tindakan itu atas nama Islam. Prilaku ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal , antara lain :
Mungkin adanya keinginan untuk diakuinya oleh masyarakat sekitar
Mungkin juga adanya keinginan untuk menunjukkan kekuatannya atau
Pemahaman terhadap teks al-Qur’an atau Hadits yang diyakininya.

Kemungkinan ke 3 inilah, yang ingin bicarakan selanjutnya.

Ada Hadits Nabi SAW yang populer dan menjadi landasan Prilaku kekerasan dan main hakim sendiri dengan atas nama AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ”
Yaitu :

"Man Ra a Minkum Munkaran Fal Yughoyyirhu Bi Yadihi dst"

” Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah ia dengan tangannya , apabila ia tidak bisa maka dengan lisannya dan apabila tidak bisa maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim)

Hadits tersebut, khususnya kalimat (Fal Yughoyyirhu Bi yadihi) rubahlah ia dengan tangannya sering dijadikan acuan untuk melakukan tindakan anarkis. Padahal kalimat tersebut masih bersifat interprettatif. Dalam Kitab Mu’jam AlfadziL Qur’anil Karim yang disusun oleh Syaikh Ibrahim Mustofa dkk, Kata tangan di dalam al-Qur’an sering bermakna :
1. Ni’mat spt : dalam QS .Ali ”Imran : 73

2. Qudrat atau Quwwat.

3. bermana metaforis. Spt :

Tetapi Sebagian saudara kita banyak memahaminya dengan Rubahlah dengan kekuatan tangan berupa fisik. Kalau ini yang difahami maka persepsi yang muncul bahwa ”Islam identik dengan kekerasan”, ini bertentangan dengan inti ajaran Islam sebagai Rahmatan Lil ’Alamin : Kedamaian bagi seluruh Alam.

Maka dalam memahami teks /nash al-qur’an dan Hadits perlu diperhatikan makna yang tepat dari makna derivasinya serta yang tidak kalah penting Kaidah Ilmu Tafsir yaitu :

” Suatu ungkapan dalam al-Qur’an dan Hadits yang harus dipertimbangkan adalah keumuman tujuan syari’ah bukan tergantung pada nash atau teks yang sepesifik ”

Dari kaidah tersebut dapat digaris bawahi adalah Apakah pemahaman itu sejalan dengan ( Maqashid al-Syari'ah) Tujuan syari’ah yaitu : Kemaslahatan manusia yang antara lain : Keadilan, Kesetaraan, Keseimbangan, Hak-hak asasi dll

Oleh sebab itu , Hadits tsb


Menurut penulis, lebih tepat jika difahami sebagai metode dakwah/mendidik yang moderat, yaitu :
” Rubahlah kemungkaran itu dengan tangannya” dimaknai sebagai fungsi tangan untuk :
-menuntun layaknya kita mengajarkan berjalan pada anak bayi kemudian ”merangkul” sebagai tanda kasih sayang ,kemudian ” memisahkan” ketika kita melerai orang yang bertikai.

Maka jika ini yang kita fahami akan lebih mengena pada tujuan Syari’ah Islam Tepat Islam sebagai Rahmatan Lil ’Alamin.

Jakarta, 21/02/08
KHairy Nurzaman

MELACAK PERAN STRATEGIS KELUARGA BATIH

Dr. M. Darwis Hude, M.Si. [*])
Pengantar
Salah satu ciri utama masyarakat Indonesia adalah munafik, demikian tulisan Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia. Ia melihat kemunafikan itu muncul dalam berbagai aspek kehidupan. Orang bicara penegakan hukum sampai mulutnya berbusa-busa tapi dalam praktek masih sangat jauh dari harapan. Kebiasaan itu juga merambah sampai pada hal-hal sepele seperti tercermin dari keengganan menyatakan hal yang sebenarnya pada saat-saat tertentu. Ketika ditanya soal kesehatan [jawabnya: selalu sehat, meskipun sebenarnya ia sakit], ketika ditanya sudah lamakah ia menunggu [baru saja, walaupun sebenarnya sudah pegal dan kesal menunggu], atau ketika diajak makan [selalu kenyang], ketika diminta memberi penilaian kepantasan pakaian yang dikenakan atau hasil masakan yang dihidangkan [selalu bagus atau enak], dst. Jawaban atau tanggapan terhadap hal-hal tersebut terkadang tidak sesuai dengan yang sebenarnya hanya karena takut menyinggung perasaan atau hanya ingin menyenangkan orang lain. Kata Mochtar Lubis, munafik! Anda boleh tidak sepaham dengan Mochtar Lubis, apalagi jika term itu dimaksudkan sebagai term munafik yang disebut Al-Qur'an fi al-dark al-asfal min al-nar. Tapi, yang jelas, banyak sikap dan tingkah laku keseharian kita mengkristal melalui imitasi dari lingkungan dimana kita hidup. Orangtua, keluarga, dan masyarakat sebagian mengajari kita sejak kecil ungkapan, sikap, dan prilaku seperti demikian.

Di masa anak-anak imitasi dari lingkungan hampir mewarnai seluruh kehidupan. Itu sebabnya peran keluarga batih sangat penting, bahkan ada ungkapan "al-ummu madrasatul ūlā" (ibu adalah sekolah pertama). Rangsang-rangsang positif penting diberikan terutama di masa-masa awal pertumbuhan yang dikenal dengan 'the golden age'. Menunggu anak sampai usia TK sebenarnya sudah sangat terlambat, demikian judul buku yang ditulis oleh Masaru Ibuka, seorang ahli pendidikan anak dari Jepang, "Kindergarten is too Late". Namun demikian banyak di antara kita yang tidak atau kurang menyadari bahwa pembentukan karakter manusia dimulai dari anak sejak usia dini hingga kira-kira usia 21 tahun. Membentuk karakter sesudah usia itu sudah amat sulit, harus melalui rekonstruksi. Tulisan ini ingin menyadarkan betapa banyak pola asuh yang keliru dan berdampak kurang sehat pada perkembangan pendewasaan anak yang berakibat pada kristalisasi nilai-nilai yang dianut dan tampil dalam pergaulan sehari-hari. Karakter bangsa tak lepas dari apa yang diperoleh, diimitasi, diinternalisasi individu melalui interaksi dengan lingkungan sejak kecil.
Pengaruh Keluarga
Ada perbedaan pemaknaan antara istilah keluarga dengan family dalam kecenderungan masyarakat Barat. Family tak lebih dari ayah, ibu, dan anak (spouse and children). Sementara dalam pemahaman kita di Indonesia, keluarga yang menjadi padanan kata family (menjadi famili), tidak terbatas pada ayah, ibu, dan anak saja tetapi semua kerabat yang memiliki hubungan darah baik pada garis vertikal maupun horizontal. Kadangkala kabur dalam menetapkan batas-batasnya. Dalam tulisan ini digunakan ungkapan keluarga batih, yaitu keluarga serumah yang terdiri atas keluarga inti dan saudara lain yang tinggal 'seatap' dengan anak. Mereka mempunyai andil besar dalam membentuk kepribadian anak.
Terdapat beberapa teori tentang apa yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, bawaan lahir ataukah lingkungan. Bagi kaum nativis yang dimotori misalnya Lombrosso dan Scopenhouer, bawaanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia. Sementara kaum empiris yang dimotori misalnya J. Locke dengan teori tabularasanya beranggapan bahwa lingkunganlah yang membentuk kehidupan. Kaum behaviorisme yang dikenal luas dalam psikologi meyakini yang terakhir ini. B. F. Skinner salah seorang tokoh behaviorisme bahkan beranggapan bahwa hewan saja bisa belajar melalui lingkungannya dengan mekanisme trial and error, atau dengan perkataan lain bisa dididik, apalagi manusia yang mempunyai nalar. Teori moderat, convergensi, yang dimotori William Stern memadukan kedua pandangan tersebut di atas.
Di kalangan cendekiawan Muslim terdapat pula pandangan yang kurang lebih sama dengan pandangan kaum empirisme atau positivisme, dengan mengartikan term 'fitrah' sebagai suci bagai kertas putih yang siap digrafiti apa saja oleh siapa saja, terutama oleh orangtua. Namun sebagian pakar pendidikan Islam menilainya bahwa perpaduan antara bawaan lahir (bakat) dengan lingkungan (pendidikan) merupakan dua faktor penentu perjalanan hidup manusia. Mari kita lihat makna hadis yang menjadi pembicaraan: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan 'fitrah', kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi …" Kata 'fitrah' di sini sering diartikan sebagai suci bersih (kertas putih), ayah-ibu yang akan menuliskannya apa saja di atas kertas putih itu. Sedangkan Hasan Langgulung dan yang sepaham dengannya memaknai kata fitrah dalam hadis itu sebagai bakat bawaan. Jadi, anak yang lahir bukan berarti datang dalam kondisi 'blank', ia sudah membawa potensi 99 sifat terbatas dari asma'ul husna sebagai fitrah Allah. Dari potensi 99 sifat itu akan berkembang sesuai dengan rangsang dan pembiasaan yang diterima dari lingkungannya (diwakili oleh 'abawah' atau ayah-ibu).
Menurut hemat penulis, hadis Nabi yang dinukil Abu Hurairah tersebut sebenarnya sangat simpel. Ia hanya berbicara tentang keberimanan seseorang bahwa pada awalnya sangat ditentukan oleh siapa yang berinteraksi langsung dengan anak itu sejak usia dini. Mari kita lihat hadis-hadis lain yang teksnya kurang lebih sama, misalnya salah satu riwayat Muslim, ada kalimat tambahan yang mempertegas maknanya: "… fain kānā muslimayni famuslim…" (Jika kedua orangtuanya Muslim maka anak itu akan menjadi Muslim pula). Kenyataannya memang demikian, seorang anak yang kebetulan lahir di lingkungan keluarga Zoroastrian maka anak itu terlebih dahulu mengimitasi prilaku orangtuanya[i] yang tampak sebagai konsekuensi dari keyakinannya pada Ahura Mazda dan Ahriman sebagai Tuhan terang (baik) dan Tuhan kegelapan (jahat). Kita pun sebagai Muslim pada awalnya karena keturunan, melakukan apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang Muslim. Bahwa kemudian mendapatkan peneguhan (reinforcement) dari berbagai sumber dari lingkungan sosial kita merupakan hal yang datang kemudian.
Pengaruh orangtua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak tak dapat disangkal. Karena itu faktor pola asuh orangtua dan keluarga yang ada di sekitar anak sangat penting. Kita mengenal ada tiga model pola asuh orangtua: Pertama, pola otoriter, segala sesuatu yang berkaitan dengan anak ditentukan sepenuhnya oleh orangtua. Anak sama sekali tidak terlibat pada apa yang menjadi minat dan harapannya sendiri karena orangtua telah mengambil alih seluruhnya. Ciri utamanya adalah komunikasi searah dalam bentuk instruksi, tidak ada pilihan alternatif, dan biasanya disertai intimidasi menggunakan kalimat yang dimulai dengan: "Pokoknya …." Kedua, pola demokratis, anak diajak bersama-sama dalam menentukan berbagai hal menyangkut anak. Di sini anak merasa dihargai karena diajak terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan anak sendiri. Ketiga, pola permissif, kebalikan dari otoriter. Segala sesuatu diserahkan kepada anak, orangtua tinggal mengiyakan saja apa pun yang dikehendaki oleh anak. Tampaknya dalam Islam, ketiga pola asuh ini harus dipadukan. Kalau kita merujuk pada kehidupan Abul Anbiya' (The Grandfather of Prophet), Ibrahim, kita menemukan penerapan ketiga pola asuh ini secara integral. Dalam hal aqidah orangtua harus otoriter. Hal ini tercermin dari prilaku Ibrahim terhadap putra-putranya yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Pesan-pesan moral untuk tidak mati kecuali dalam Islam, tidak menyembah selain Allah, dst. (2:132-133) memberi indikasi tentang hal tersebut. Anak tidak boleh dibiarkan untuk memilih agamanya sendiri. Sedangkan hal-hal yang menyangkut hak-hak anak, menyangkut kehidupan masa depan, pendidikan, ketika anak sudah dapat diajak untuk bertukar pikiran dan mampu berusaha (balaga ma'ahu al-sa'ya), maka pola demokratis bisa ditempuh. Nabi Ibrahim tetap meminta pendapat putranya, Ismail, ketika mendapat perintah untuk mengurbankannya karena menyangkut hak asasi putranya (37:102). Akan tetapi Ismail dibiarkan oleh ayahnya untuk mencintai hobinya berburu hewan gurun sepanjang tidak mengganggu aktivitas ibadahnya, merupakan wujud dari pola permisif.
Peran Strategis Keluarga Batih dalam Pendewasaan
Orangtua adalah lingkungan sosial pertama yang ditemui dalam dunia nyata ('alam syahadah). Apa yang dialami bersama keluarga terutama yang berulang-ulang itulah yang secara pelan-pelan diserap menjadi suatu kebiasaan sehari-hari, bagaimana cara bersikap, bertutur kata, bertingkah laku, dalam berbagai kesempatan. Sebuah roman klasik, Hayy ibn Yaqzhan, yang ditulis oleh Ibn Thufail, meyakinkan kita akan hal ini. Seorang anak manusia yang terdampar di sebuah hutan pantai kemudian dipelihara oleh seekor induk rusa, bertingkah laku seperti 'induk semangnya' itu meskipun secara intelektual Hayy lebih cerdas. Agama Islam mengharuskan orangtua, terutama ibu yang melahirkan sebagai sekolah pertama, memiliki kemampuan untuk mendidik anaknya dengan baik. Jika gurunya fathanah atau cerdas dalam memberikan rangsangan-rangsangan edukatif yang diperlukan maka anak akan tumbuh dewasa mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi-potensi positif yang dimilikinya.
Peran strategis orangtua [dan keluarga batih] dalam mengantarkan anak menuju ke kedewasaannya dikaitkan dengan karakter bangsa antara lain:
1. Sebagai fasilitator/providerDi dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa': 28 dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan sangat lemah jika dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Kambing, hewan yang akrab di lingkungan kita, hanya hitungan menit atau jam sesudah persalinannya ia sudah mampu berdiri bahkan langsung mencari makanan kesukaannya. Bandingkan dengan manusia yang bertahun-tahun diasuh oleh ibunya. (Wajar kalau kambing tidak diharuskan berbakti untuk ayah-ibunya!). Anak dianjurkan mendapatkan ASI selama dua tahun[ii], berada dalam pengawasan dan pengasuhan orangtuanya, memperoleh kebutuhan primer dan sekunder yang dewasa ini telah bergeser dari 'parents oriented' menjadi 'children oriented'. Pada dasawarsa yang lalu semua makanan yang enak disimpan untuk ayah, tapi sekarang –paradigmanya telah bergeser– yang diutamakan adalah anak. Perhatian orang tua dalam memenuhi kebutuhan fisik dan mental anak sangat penting secara berimbang. Kebanyakan orang tua hanya memikirkan kebutuhan fisik anak semata tanpa memedulikan bahwa anak butuh kasih sayang, perhatian, perlindungan, rasa aman, penghargaan. Anak tetaplah anak, bukan orang dewasa dalam bentuk mini. Orangtua harus aktif memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan anak sehingga mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya agar berguna untuk diri dan lingkungan sosialnya. Pembangunan sumber daya manusia dimulai dari pemahaman dan kemauan orang dewasa, terutama orangtua, untuk memfasilitasi agar potensi-potensi anak manusia berkembang secara wajar.Istilah yang diperkenalkan penulis untuk fungsi ini adalah provider. Provider [pinjam istilah penyedia layanan komunikasi] untuk menunjukkan bahwa orangtua harus memperhatikan layanan prima yang menyenangkan customer, dalam arti memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dalam suasana yang menyenangkan.
2. Sebagai edukatorTidak diragukan lagi peran strategis orangtua dalam mendidik dan membentuk watak anak-anaknya. Menanamkan aqidah dan akhlak sejak dini, membekali ketrampilan hidup (life skills), hingga ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Untuk anak usia dini, ketika anak baru bisa menerima sesuatu secara kongkret, maka materi dan contoh-contoh yang diberikan lebih pada hal-hal nyata di sekitar mereka. Semua benda yang ada di lingkungan kita, bahkan yang bersifat situasional sekalipun, menjadi media pembelajaran yang efektif. Orangtua harus terlibat aktif dalam mendidik putra-putranya karena waktu lebih banyak dihabiskan anak bersama di rumah. Sistem pendidikan klasikal di sekolah-sekolah formal hanya memberikan pelayanan standar (rata-rata) bagi semua anak, padahal kita tahu semua anak bersifat unique. Unik bermakna tidak ada dua individu yang sama persis,[iii] memiliki kecerdasan berbeda-beda. Bahkan H. Gardner mengidentifikasi kecerdasan jamak (multiple intelligencies) pada manusia,[iv] tidak tunggal sehingga tidak lagi ada anak yang disebut bodoh. Boleh jadi tidak berprestasi di satu bidang tetapi di bidang lain ia lebih unggul. Orangtua hendaknya mencermati potensi kecerdasan yang dimiliki putra-putranya agar anak dapat mewujudkan potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal. Sementara itu, ditengarai pula adanya kemungkinan anak mengalami underachievement, berprestasi di bawah potensi sebenarnya. Banyak anak yang memiliki potensi tinggi tetapi prestasi yang ditunjukkan tidak sesuai dengan potensi itu, bahkan sangat jauh di bawahnya. Bersama-sama dengan guru di sekolah orangtua dapat membantu anak-anak underachiever untuk mewujudkan prestasi yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
3. Sebagai motivatorMotivasi umumnya diklasifikasi menjadi intrinsic motivation dan extrinsic motivation. Orangtua dan keluarga batih diharapkan menumbuhkan motivasi instrinsik yang muncul dari dalam diri anak untuk mau berprestasi, beribadah, maju bersaing secara sehat, dan hal-hal baik lainnya. Untuk merangsang hal tersebut orangtua hendaknya memberi apriasiasi setiap kali anak melakukan suatu kebaikan yang diharapkan. Aprisiasi ini menjadi penguat (reinforcement) terhadap tindakan kebaikan berikutnya. Thorndike dengan 'low of effect'nya[v] meyakini bahwa sesuatu yang menyenangkan cenderung diulang pada kesempatan lain. Memuji anak ketika melakukan sesuatu kebaikan lebih berharga daripada menghukum karena suatu kesalahan. Jika orangtua dan keluarga batih menunjukkan prestasi dalam kehidupannya dari kerja keras yang dilakukan dapat menjadi motivasi intrinsik bagi anak.
4. Sebagai konselor/problem solverPerjalanan hidup manusia bergerak dinamis mengalami tahapan-tahapan dari thifl (bayi, anak)[vi] hingga lanjut usia atau meninggal dunia. Dalam fase perkembangan itu manusia berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosial yang boleh jadi mengalami berbagai masalah. Masalah itu ada yang bisa dicope (diatasi) dan ada pula yang sulit, memerlukan konseling dari orang lain yang lebih tahu dan lebih pengalaman. Konsep Behaviorisme[vii] yang memberi kesempatan kepada manusia untuk melakukan trial and error dalam kehidupan ternyata tidak dapat diterapkan untuk semua hal. Ada hal yang tidak dapat diberlakukan uji coba. Di masa-masa kritis perkembangan kehidupan diperlukan adanya penasihat yang bijak (mungkin tidak menggurui) agar semua masalah yang dihadapi anak bisa dilalui tanpa gejolak yang berarti dan berkepanjangan.Sebagai konselor/problem solver bukan berarti orangtua mengambil alih dan menyelesaikan semua persoalan anak. Akan tetapi, cukup memberi berbagai alternatif pemecahan masalah dengan kemungkinan konsekuensinya lalu membiarkan mereka memilih alternatif yang paling baik menurut mereka.
5. Sebagai teladan/modelTidak dapat disangkal bahwa anak pada awal-awal pertumbuhannya akan meniru apa saja yang diperoleh dari lingkungannya. Cerita roman Ibn Thufail yang disebutkan di muka menegaskan hal ini. Anak-anak di Perancis mahir berbahasa Perancis atau di Ciamis berbahasa Sunda karena imitasi. Bahkan ibadah yang dilakukan pada awalnya karena imitasi. Memang diakui bahwa manusia membawa instink sejak lahir tapi kemudian diperkaya melalui interaksi dengan lingkungan. Dari kecil anak bisa menangis dan tertawa, tanpa kursus terlebih dahulu, tapi bagaimana dan kapan kita harus menangis dan tertawa ternyata kita peroleh dari lingkungan (pendidikan maupun pengalaman).[viii]Bersikap, bertutur kata, bertingkah laku di hadapan anak menjadi media pembelajaran yang efektif bagi anak. Jika yang tampil dalam pergaulan sehari-hari tuturkata yang lembut (qaulan layyinan)[ix] maka anak akan menirunya seperti itu ketika bertutur dengan orang lain. Sebagai model orangtua berupaya untuk menunjukkan model sikap, tutur kata, dan tingkah laku yang tepat dalam berbagai situasi kehidupan. Rasulullah menjadi model bagi keluarga, sahabat, dan umatnya dalam menjalani intrapersonal, interpersonal, dan metapersonal (33:21).
6. Sebagai temanAnak adalah teman bermain, bercengkrama, bercanda, main tebak-tebakan, bertanding walau kadang-kadang orangtua harus sengaja bermain kalah dengan anaknya. Sebagai teman harus setia saling mendengarkan cerita, perasaan, pendapat, apapun isinya. Mendampingi anak ketika dalam suasana hati mereka yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Orangtua harus bisa menempatkan diri sebagai teman dalam obrolan berbagai tema di seputar dunia anak. Khazanah anak dimunculkan dalam ungkapan atau cerita sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa yang dimiliki oleh anak. Dalam bahasa Al-Qur'an dikenal sebagai qaulan maysuran[x] (perkataan yang terukur). Orang tua berfungsi sebagai teman juga menjadi wahana penting untuk melatih keterbukaan anak terhadap apa saja yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan.
7. Sebagai negosiatorOrangtua kadang-kadang harus bertindak sebagai negosiator ulung dalam melakukan tawar-menawar dengan anak, terutama anak-anak yang sudah beranjak remaja. Pola asuh otoriter hanya akan menimbulkan berbagai ketegangan dalam diri anak, bahkan dapat menimbulkan pembusukan potensi-potensi yang dimilikinya. Anak sebagai anak kadangkala juga memiliki keinginan-keinginan yang menurut orangtua hal itu kurang pantas. Banyak sekali aktivitas anak yang memerlukan negosiasi orangtua. Pukul berapa harus sudah di rumah setelah jalan-jalan dengan teman di hari libur adalah contoh kecil wilayah yang bisa dinegosiasikan.

Kebiasaan Negatif Sebagian Keluarga Batih di Rumah
Dalam kehidupan keluarga Indonesia kita menemukan pola-pola umum yang dilakukan keluarga batih dalam berinteraksi dengan anak, baik yang positif maupun yang negatif. Yang positif tentu banyak sekali, bukan pada tempatnya untuk menguraikannya di sini. Akan tetapi beberapa diantaranya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi pembentukan karakter bangsa yang negatif, untuk dihindari dalam interaksi dengan anak, antara lain:
1. Pendekatan punishmentDalam keseharian kita pendekatan hubungan yang dilakukan orang tua di rumah, bos di tempat kerja, bahkan guru di sekolah pada umumnya adalah mendahulukan punishment daripada reward. Cermatilah misalnya guru ketika masuk kelas, yang pertama ditanyakan adalah siapa yang tidak hadir, yang tidak mengerjakan tugas, dan sejenisnya. Pernahkan guru, misalnya, memberi apresiasi kepada muridnya yang datang lebih awal sebelum bel berbunyi? Di rumah sama saja. Orangtua lebih banyak menghukum, mencela, mengomel, daripada memberi pujian, ganjaran positif, memberi semangat. Sebuah penelitian Jack Canfield tentang frekuensi orangtua mencela dan berkomentar negatif kepada anaknya daripada memberi pujian dan berkomentar positif. Ia menemukan rata-rata 75 kali (positif) dan 460 kali (negatif) perhari.[xi]Dalam teks keagamaan sebenarnya indikasi pendekatan targīb (reward) didahulukan tinimbang pendekatan tarhīb (punishment). Ditemukan banyak teks hadis yang mendukung hal ini, misalnya perintah melakukan tabsyir dan larangan menakut-nakuti sehingga orang lari (lā tunaffirū), atau bahwa rahmat Allah selalu mendahului amarahnya (inna rahmatī sabaqat gadabī), niat dan berbuat baik mendapat indeks pahala lebih besar daripada indeks dosa berniat dan berbuat buruk. (Baca juga: 7:156, 40:7).
2. Kelangkaan komunikasi dan silaturahimBanyak anak yang dicap bandel oleh orangtuanya padahal sejatinya hanya ingin perhatian. Salah satu kebutuhan manusia ingin afiliasi, perhatian, disayangi dan menyayangi, ditanggapi, dihargai, dan perasaan itu tumbuh dari sejak kecil. Banyak orangtua ketika anaknya sedang asyik bermain dibiarkan dalam kesendirian tanpa sapaan (silaturahim), tapi ketika anak memecahkan keramik, berteriak-teriak, atau mengganggu adiknya barulah ibu bangkit dan nyerocos ngomong kepada anaknya. Si anak kemudian mengetahui kalau dia 'bandel' ia diperhatikan oleh ibunya. Alangkah baiknya, jika dalam berbagai kondisi orangtua senantiasa berkomunikasi dengan anaknya. Bahkan terhadap bayi sekalipun orangtua dianjurkan untuk terus berkomunikasi walaupun mungkin tanpa tanggapan verbal kecuali tatapan mata. Bermain mobil-mobilan bersama anak, apalagi membangkitkan kreativitas melalui perakitan mobil-mobilan dari barang-barang bekas, sangat disenangi anak-anak dan berpengaruh positif pada perkembangan kreativitas mereka.
3. Terbiasa menghitung untuk sebuah instruksiPernahkan Anda mendengar seorang ibu berseru kepada anaknya: "Iiih… Berhenti! Ibu hitung sampai sepuluh. Awas ya! 1..2..3…" dst. Perintah atau larangan dengan cara seperti ini akan membuat anak tidak tanggap, tidak reaktif (dalam arti positif), karena terbiasa menunggu sampai hitungan mendekati sepuluh, belum lagi jika ada sembilan seperempat, sembilan setengah…dst. Oleh karena itu, kalaupun harus menggunakan hitungan sebaiknya sampai hitungan tiga saja.
4. Membungkam keingintahuan (curiosity) dan kreativitasAnak-anak adalah makhluk yang memiliki keingintahuan yang tinggi. Hanya sayang sering kali keingintahuan ini dibungkam dan dikerdilkan oleh keluarga batih di rumah. Anak disuruh duduk manis dan diam tanpa boleh banyak bertanya tentang hal-hal yang menarik perhatian di sekelilingnya, apalagi yang dianggap tabu oleh orangtua. Keingintahuan anak oleh banyak orangtua, terutama di pedesaan, dijawab dengan telunjuk di depan bibir, pelototan mata, bentakan, bahkan cacian dan cubitan! Kadang-kadang hanya karena faktor malu kepada orang lain karena memiliki anak yang banyak tanya. Padahal kita tahu bahwa bertanya itu adalah sumber pengetahuan.[xii] Sementara itu, faktor yang menjadi patokan keberhasilan pendidikan anak di Indonesia adalah kepatuhan. Berdasarkan penelitian Utami Munandar[xiii] masyarakat Indonesia sangat mementingkan, bahkan terhadap sesuatu yang belum diketahui benar atau salah. Kepatuhan tentu sangat baik jika hal itu berkenaan dengan nilai-nilai kebenaran ajaran agama yang memang menghendaki sam'an wa thaatan. Tetapi menyangkut budaya manusia, kreativitas dan berfikir divergen diperlukan untuk menambah khazanah, nilai, dan keanekaan cara dalam memperbaiki dan menyejahterakan kehidupan umat manusia.
5. Kurang perhatian dan penghargaanMasyarakat kita di Indonesia umumnya tidak terbiasa menyampaikan terima kasih kepada anak yang melakukan suatu kebaikan bahkan jika telah membantu orang dewasa. Padahal anak adalah manusia yang sangat butuh perhatian dan penghargaan. Apresiasi yang diberikan ketika anak melakukan suatu kebaikan akan menjadi perangsang untuk terus melakukan kebaikan-kebaikan berikutnya. Ada empat kata ajaib untuk penghargaan yang terus harus bersama dengan kita dalam berkomunikasi: terima kasih, maaf, tolong, dan silakan. Tetapi sayang, keempat kata ini umumnya tidak muncul dalam komunikasi keluarga batih dengan anak yang ada di lingkungannya, sehingga pekerjaan atau kebaikan yang dilakukan anak seolah-olah hanya tugas yang membebankan tanpa apresiasi dari orang yang menuntutnya melakukan sesuatu.Hal lain yang sering terjadi adalah tak adanya apresiasi yang mampu memotivasi anak ketika mereka kurang menunjukkan prestasi dalam pelajaran sekolah. Begitu anak dapat nilai merah, orang tua langsung mencak-mencak memarahi anak, bahkan kadang-kadang dengan corporal punishment (hukuman fisik) seperti dicetot, dsb. Situasi seperti ini membuat anak tidak jujur. Begitu dia dapat merah berikutnya akan dia sembunyikan atau buang ke tong sampah, hanya nilai bagus yang ditunjukkan. Nilai merah tidak harus membuat orangtua kebakaran jenggot, tetapi dengan perhatian dan kesungguhan untuk membantu prestasi lebih baik. Begitu ada kemajuan (meskipun masih merah dari 4 ke 5, misalnya) maka apresiasi pun harus ia dapatkan.

Poros Keluarga, Masyarakat, dan Sekolah
Pembentukan perwatakan manusia terjadi sejak ia dapat berinteraksi dengan lingkungannya sampai mencapai usia dewasa. Lingkungan di sini harus dimaknai dua sisi, lingkungan alam dan lingkungan sosial. Kurt Lewin[xiv] beranggapan bahwa kepribadian kita dibentuk oleh bawaan dan lingkungan (alam maupun sosial). Untuk lingkungan sosial keluarga batih yang pertama-tama memberikan andil, kemudian teman sebaya (peer groups) baik pada teman sepermainan di lingkungan rumah maupun teman sekolah. Guru di taman kanak-kanak juga mempunyai andil besar pada pembentukan karakter di usia dini (atau, dini usia?). Ada masanya anak sangat mengidolakan gurunya di sekolah sehingga apa pun yang dikatakan oleh guru akan diterima dan diimitasi anak dengan mudah. Ketika anak mulai menginjak remaja maka mulai pula muncul keinginan melepaskan diri dari keluarga batihnya dengan membentuk atau melibatkan diri pada kelompok di luar rumah.
Di usia dini (kira-kira sampai usia 8 tahun) anak senang sekali kepada cerita atau dongeng, sehingga masa ini sering disebut tale stage. Dari cerita dan dongeng ini keluarga dapat memasukkan nilai-nilai yang diinginkan. Cerita atau dongeng perlu dicari atau dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki nilai-nilai luhur yang dapat diinternalisasi supaya dapat dihayati dan diamalkan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai inilah yang selalu muncul dalam setiap kali Al-Qur'an menceritakan kisahnya, baik kisah para rasul maupun orang-orang penting lainnya seperti Luqman, untuk diteladani. Kisah-kisah itu diulang atau disambung di beberapa tempat (surat) berbeda, karena memang bukan kronologisnya yang diutamakan tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kisah-kisah dalam Al-Qur'an meskipun yang diutamakan adalah kandungan nilainya tapi tidak berarti ia merupakan cerita dongeng, tapi memang benar-benar terjadi di masa yang lampau. (Baca lebih lanjut Surat Yusuf: 111). Cerita atau dongeng dapat dibuat sendiri oleh orang tua dan keluarga sepanjang memberikan nilai-nilai luhur yang diharapkan dianut oleh anak. Cerita atau dongeng (termasuk fabel) yang kita punyai banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti dongeng tentang si kancil mencuri ketimun atau dongeng lainnya yang menampilkan kelicikan, penipuan, dsb. untuk mendapat keuntungan dan prestasi.
Nilai-nilai yang harus muncul adalah nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Al-Qur'an semisal nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, altruisme (senang menolong tanpa pamrih), kesabaran, etos kerja, istiqamah, menghargai perbedaan, amar ma'ruf dan nahyi munkar, dsb. Nilai-nilai ini dikemas dalam bentuk cerita dan dongeng untuk usia dini atau dalam bentuk nalar dengan membentangkan fenomena sosial yang terjadi secara aktual untuk anak-anak remaja. Nilai-nilai ini tentu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh keluarga batih di rumah untuk menjadi uswah hasanah bagi anak. Pembiasaan-pembiasaan merupakan cara untuk mengkristalisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan. Ada tiga tahapan yang dilalui untuk menginternalisasikan nilai-nilai pada anak:
1. Tahap compliance, yaitu tahap pembiasaan pada kebaikan, kepatuhan pada kebenaran. Kebiasaan-kebiasaan baik dalam tindakan dan ucapan semisal terima kasih, maaf, tolong, silakan, dan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran harus muncul bahkan bermula dari keluarga di rumah serta guru di sekolah. Di sini juga harus berlaku ganjaran dan hukuman (reward & punishment, targīb & tarhīb).
2. Tahap identifikasi, yaitu anak mulai mengidentifikasi dirinya dengan kebaikan serta pelaku kebaikan. Misalnya ketika anak melihat sesuatu yang kotor lalu mengatakan ‘ih… jorok.’ Terdapat rasa senang terhadap sesuatu yang telah dibiasakan padanya dan berusaha untuk menerima hal tersebut sebagai sesuatu keniscayaan.
3. Tahap kristalisasi nilai-nilai, yaitu tahap akhir yang dituju di dalam pembentukan karakter, yaitu ketika anak sudah menjadikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu sebagai bagian dalam kehidupannya.
Pembiasaan-pembiasaan itu harus dimulai dari hal-hal sederhana di lingkungan anak (meminjam imbauan Aa Gym: mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari hal-hal kecil). Misalnya, mencontohkan minum (aqua gelas) tanpa menyisakan isinya untuk tidak mubazir (17:27), mengetuk pintu kamar anak dan mengucapkan salam sebelum masuk (24:58), tidak masuk ke rumah orang tanpa izin/salam (24:27), altruistik atau ringan tangan dan terbiasa membantu sesama (5:2), bergeser ketika ada orang memerlukan tempat duduk atau menepi ke jalur kiri kalau ada orang yang meminta menyalip kendaraan kita (58:11), menghindari berbagai aktivitas yang tak bermanfaat (23:3), dst. Pembiasaan-pembiasaan melalui internalisasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari sedini mungkin harus sejalan-seiring antara perlakuan dalam bentuk uswah hasanah keluarga di rumah, guru di sekolah, dan masyarakat secara luas. Sebab jika tidak, akan terjadi laksana orang menenun di malam hari dengan tekun menganyam benang helai demi helai tetapi kemudian diurai kembali di pagi esok harinya. "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, …."[xv] Wallahu a'lam.


[i] Baca lebih lanjut teori belajar-sosial (imitasi) dari Dollard-Miller.
[ii] Surat Al-Baqarah: 233, Luqman: 14.
[iii] Sarlito Wirawan Sarwono (1986). Psikologi Umum. Jakarta: Bulan Bintang.
[iv] Menurut Howard Gardner ada 7 kecerdasan manusia: Kecerdasan linguistik (kemampuan verbal, umumnya dimiliki para pengarang, penyair, orator); logika matematika (perangkaan, pengenalan pola, argumentasi logis, umumnya dimiliki para saintis dan para ahli hukum); spasial (berpikir meruang, reka ulang, biasanya dimiliki arsitek, pematung, navigator/pilot); musikal (cipta irama, dimiliki para musisi dan komposer); kinestetik (gerakan tubuh, aktivitas fisik, dimiliki para atlet, penari, dan pekerjaan-pekerjaan yang menggunakan kelenturan tubuh); interpersonal (mengelola hubungan antarsesama, umumnya dimiliki para sales, negosiator, dan para pekerja di bidang humas); intrapersonal (memahami diri, biasanya dimiliki para psikolog dan filosof); dan kecerdasan naturalis (interaksi dengan alam, dimiliki pada umumnya para pecinta alam, penyayang binatang, dll.)
[v] Lihat lebih lanjut Good, Thomas L. & Brophy, Jere E. (1990). Educational Psychology: A Realistic Approach. New York: Longman.

[vi] Fase anak (thifl sebagaimana dimaksud dalam Surat Al-Hajj: 25), menurut Ibn Manzhūr adalah sejak bayi sampai balig (طِفْلاً حِيْنَ يَسْقُطُ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ إلَى أنْ يَحْتَلِمَ الصَّبِيُّ يُدْعَى). Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhūr al-Afriqī al-Mishrī. (t.t.). Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār Shādir, juz 11, h. 402.
[vii] Behaviorisme, trial and error
[viii] M. Darwis Hude (2006). Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Qur'an. Jakarta: Airlangga.
[ix] Lihat lebih lanjut istilah-istilah yang diperkenalkan Al-Qur'an: qaulan kariman (mulia; 17:33), qaulan ma'rufan (dikenal; 2:230), qaulan sadidan (benar; 4:9, 33:70), qaulan baligan (jelas; 4:63), qaulan maysuran (pantas, terukur; 17:28), qaulan tsaqilan (tegas bermakna, berbobot; 73:5).
[x] Surat Al-Isra': 28.
[xi] Jack Canfield dalam Quantum Learning.
[xii] Surat An-Nahl: 43, Al-Anbiya': 7.
[xiii] Utami Munadar (1987). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia.
[xiv] Lihat lebih lanjut Hothersal, D. (1984). History of Psychology. New York: Random House. B = f(P,E) à B adalah behavior, f = fungsi dari P: Person dan E: Environment.
[xv] Surat An-Nahl: 92.

SWOT Pendidikan Islam

Pendidikan Islam (bukan kelembagaan), jika kita evaluasi dengan SWOT (salah satu alat evaluasi dalam manajemen) maka kita melihat dari :
Strength : Situasi kondisi kekuatan dari pendidikan Islam bahwa Islam sebagai milah/ agama yang mempunyai nilai kebenaran universal maka kita dapat melihat dari sisi kekuatannya :
1. mempunyai ajaran-ajaran/nilai kebenaran univarsal yang dapat diterapkan dalam segala bidang
2. mempunyai prinsip dialogis ( wasyawirhum fi al-amri)
3. mempunyai prinsip keadilan (al-‘adalah), keseimbangan ( al-Tawazun )dll
4. mempunyai prinsip ajaran berproses dan ilmiah ( kun fa yakun )
5. mempunyai ajaran monoteis (yang tidak terikat oleh ruang dan waktu)
6. mengedepankan pembentukan karakter / akhlak al-karimah / moral /etik
7. mementingkan pendidikan keluarga dan lingkungan
8. ajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman
9. mempunyai spirit dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan

Weakness adalah situasi kondisi kelemahan pendidikan Islam a.l :
belum mempunyai manajemen pendidikan secara sistematis
belum seimbangnya rasio SDM (steakholder,guru) yang profesional
paradigma pemisahan antara pendidikan Islam dan umum
masih kurangnya pengembangan kurikulum pendidikan Islam
belum adanya sistematika materi yang disesuaikan dengan perkembagan jiwa
kurangnya hasil-hasil penelitian dalam pendidikan Islam
kurangnya inovasi-inovasi metode pengajaran dalam pendidikan Islam
masih kurangnya lembaga-lembaga pelatihan guru pendidikan Islam

Opportunity adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar Pendidikan Islam dan memberikan peluang berkembang bagi pendidikan Islam di masa depan a.l :
Tujuan Pendidikan Nasional dan undang-undang serta permen tentang Sisdiknas
Pemisahan antara pendidikan umum/ barat dan pendidikan Islam
Era globalisasi yang berindikasi bebasnya nilai-nilai
Kesibukan masyarakat /individu untuk memenuhi kebutuhannya
Semangat pertumbuhan ekonomi
Undang-undang Negara dalam kebebasan perkembangan pendidikan
Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia akan religitas
Kerjasama-kerjasama dalam Globalisasi dunia pendidikan
Peningkatan Animo Pemodal /investor terhadap pendidikan Islam

Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi pendidikan Islam yang datang dari luar dan dapat mengancam eksistensi pendidikan Islam di masa depan
1. era globalisasi dan informasi
2. ajaran dan budaya selain Islam
3. sekularisasi
4. prilaku kekerasan atau vandalis dan seks bebas
5. propaganda orientalis
6. pemahaman secara parsial terhadap Ajaran Islam
7. pemahaman rasionalis dan pragmatisme
8. Perkembangan pemikiran radikal dalam dunia filsafat ilmu




Hasil :

a. Strategi Internal
strategi SO : factor Strenght dan Opportunitie (SO)

Melimpahnya ajaran-ajaran /prinsip-prinsip hidup dalam berbagai aspek dan ajran monotheis yang tidak terikat kebendaan,ruang dan waktu merupakan kekuatan untuk menangkap peluang pertumbuhan Kerjasama dalam globalisasi (S1-5;O8)
Prinsip keadilan dan keseimbangan dalam hidup dapat dijadikan kekuatan untuk menangkap peluang peningkatan semangat pertumbuhan ekonomi (S3;O5)
Spirit dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ada dalam ajaran Islam merupakan kekuatan untuk menangkap peluang dalam paradigma pemisahan antara pendidikan umum/ barat dan pendidikan Islam (S9;O2)
Prinsip-prinsip dialogis ( wasyawirhum fi al-amri) dalam pendidikan Islam merupakan kekuatan untuk menagkap peluang dalam kebutuhan-kebutuhan manusia akan sikap religitas (S2,7;O4,7)

strategi ST : factor Strenght dan Threat (ST)

Memanfaatkan prinsip dialogis ( wasyawirhum fi al-amri) merupakan kekuatan untuk memperkecil ancaman propaganda skularisasi, orientalis pemahaman rasionalis dan pragmatisme (S2;T3,5,7)
pembentukan karakter / akhlak al-karimah / moral /etik merupakan kekuatan utnuk memperkecil ancaman berupa keterbukaan dari ajaran dan budaya bukan dari Islam serta prilaku kekerasan, vandalis, seks bebas dalam era globalisasi dan informasi (S6;T2,4,1)
ajaran-ajaran/nilai kebenaran univarsal yang dapat diterapkan dalam segala bidang merupakan kekutan untuk memperkecil ancaman pemahaman secara parsial terhadap Ajaran Islam (S1;T6)
Prinsip ajaran berproses dan ilmiah ( kun fa yakun ) merupakan kekuatan untuk memperkecil ancaman pemikiran radikal dalam dunia filsafat ilmu serta skularisasi (S4;T3,8)

b. Strategi Eksternal
strategi WO : factor Weaknes dan Opportunities (WO)
Meningkatkan manajemen yang efektif terhadap pendidikan Islam, seimbangnya rasio SDM (steakholder,guru) yang profesional untuk menangkap peluang terbukanya kesempatan dalam pendidikan sesuai Tujuan dan Undang-undang Negara (W1,2;O1,6)
Meningkatkan inovasi-inovasi metode pengajaran dalam pendidikan Islam , sistematika materi yang disesuaikan dengan perkembagan jiwa untuk menangkap peluang kebutuhan-kebutuhan dasar manusia akan religiuitas (W5,7;O7)
Meningkatkan manajemen pendidikan secara sistematis, rasio SDM (steakholder,guru) yang profesional untuk menangkap peluang Animo Pemodal /investor terhadap pendidikan Islam (W1,2,O9)
Meningkatkan percepatan hasil-hasil penelitian dalam pendidikan Islam, rasio SDM (steakholder,guru) yang profesional untuk menangkap peluang berkembangnya Kerjasama-kerjasama dalam Globalisasi dunia pendidikan dan Peningkatan Animo Pemodal /investor terhadap pendidikan Islam (W6,2;T8,9)

strategi WT : factor Weaknes dan Threat (WT)
Meningkatkan rasio SDM (steakholder,guru) yang profesional dalam Pendidikan Islam untuk memperkecil ancaman meningkatnya ajaran dan budaya bukan dari Islam serta prilaku kekerasan, vandalis, seks bebas (W2;T2,4,)
Menekan paradigma pemisahan antara pendidikan Islam dan umum untuk memperkecil ancaman meningkatnya pemahaman secara parsial terhadap Ajaran Islam (W3;T6)
Meningkatkan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, sistematika materi yang disesuaikan dengan perkembagan jiwa untuk memperkecil ancaman dari era globalisasi dan informasi (W4,5;T1)
Meningkatkan hasil-hasil penelitian dalam pendidikan Islam untuk memperkecil ancaman propaganda orientalis (W6,T5)

PENUTUP

Demikianlah, SWOT (sistem analisa) dapat diterapkan dalam segala bidang,yang sebetulnya prinsip SWOT sudah terdapat dalam ajaran Islam yaitu ajaran “Muhasabah”